Oleh : Junaim Laode
Pemuda Muna Barat
Muna Barat – Menjelang Seratus hari sudah Laode Darwin memimpin Muna Barat sejak pelantikannya pada 20 Februari 2025. Mengusung slogan “Awal Baru Menuju Liwu Mokesa”, Darwin bersama wakilnya Ali Basa datang dengan semangat perubahan total. Mereka menjanjikan arah baru, pendekatan baru, dan wajah baru pemerintahan. Namun, ketika slogan-slogan berubah menjadi realita, publik pun mulai bertanya: seberapa jauh “awal baru” itu benar-benar bergerak?
Darwin-Ali mengusung 44 agenda prioritas dalam program 100 hari kerja. Di atas kertas, ini adalah visi besar. Tapi persoalannya bukan pada apa yang direncanakan—melainkan pada apa yang sudah dijalankan. Sebab hari ini, sebagian besar program masih berada pada fase seremoni, launching, atau sekadar uji coba.
Pemerintah patut diapresiasi atas dua capaian penting dalam sektor konektivitas:
• Bandara Sugimanuru telah kembali beroperasi, membuka akses transportasi udara yang selama ini mati suri.
• Rute Feri Tondasi–Torobulu telah diresmikan, memperkuat koneksi antardaerah dan membuka peluang ekonomi.
Namun capaian ini masih terbatas pada infrastruktur yang sebelumnya sudah dirintis. Tidak dapat diklaim sebagai lompatan baru dalam pembangunan, melainkan percepatan terhadap rencana lama.
Program-program strategis seperti:
• Pengadaan 20 unit jonder dan alat berat
• Penggemukan 500 ekor sapi
• Perluasan tanam jagung 3.000 hektare
• Mini ranch di tiap desa
• Listrik untuk 11 desa terpencil
semuanya masih menggantung. Jika pun sudah dimulai, belum ada laporan kemajuan yang bisa diakses publik secara transparan. Dalam konteks 100 hari, program semacam ini semestinya telah masuk tahap distribusi, bukan baru dicanangkan.
Kondisi ini menyiratkan bahwa pemerintah masih terlalu fokus membangun narasi dan simbol—alih-alih konsentrasi pada eksekusi dan penyelesaian.
Janji menginap di 81 desa menjadi gimmick kampanye yang banyak menyedot perhatian. Namun realisasinya jauh dari yang dijanjikan. Hingga hari ini, hanya segelintir desa yang disambangi. Jika kunjungan desa hanya menjadi safari simbolik, maka misi mendengar dan merasakan denyut langsung rakyat bisa dianggap gagal.
Masyarakat tidak menunggu spanduk acara, mereka menunggu jalan yang layak, listrik yang menyala, dan pupuk yang tersedia tepat waktu.
Program kesehatan gratis, kehadiran dokter keliling, bantuan alat tulis, dan seragam sekolah merupakan langkah progresif. Namun, skemanya masih belum terintegrasi. Semua masih retorika, tidak ada jaminan keberlanjutan yang jelas atau transparansi distribusi. Belum lagi problem klasik: birokrasi yang lamban dan malas berkantor serta tinggal di Kabupaten tetangga.
Langkah seperti digitalisasi absensi ASN melalui face scan dan penambahan OPD baru masih sebatas reformasi struktural. Tapi publik menunggu reformasi substansial: pengurangan pemborosan anggaran, pelayanan publik yang cepat, dan ASN yang rajin dan disiplin.
Hingga kini, belum terlihat tanda-tanda bahwa reformasi birokrasi menjadi prioritas dalam praktik, bukan hanya dalam pidato akan disanksi tapi butuh kenyataan untuk disikapi.
Seratus hari memang bukan waktu panjang. Tapi cukup untuk menunjukkan arah dan keseriusan. Dalam hal ini, Darwin-Ali telah menunjukkan visi yang besar—tetapi belum menunjukkan taji eksekusi yang tajam.
Tanpa pergeseran dari seremoni ke aksi nyata, dari branding ke penyelesaian masalah, maka slogan “Liwu Mokesa” berisiko menjadi kosmetik politik semata. Harapan rakyat jangan hanya dijadikan alat kampanye berkelanjutan. Jika tak ada percepatan yang konkret, maka “awal baru” ini tak lebih dari pengulangan pola lama dengan wajah baru.
Kini saatnya Darwin-Ali berhenti meluncurkan janji dan mulai menunaikannya. Rakyat Muna Barat tak butuh lebih banyak acara, mereka butuh lebih banyak bukti.