Muna Barat, katasultra.id – Selama lebih dari 20 tahun, Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan (SPBUN) di Desa Tondasi, Kecamatan Tiworo Utara, Kabupaten Muna Barat, Sulawesi Tenggara, masih mengandalkan sistem pengisian bahan bakar minyak (BBM) konvensional. Padahal, Pertamina telah mewajibkan penggunaan pompa digital terstandar untuk menjamin keakuratan takaran. Praktik manual ini dinilai merugikan ratusan nelayan setempat yang mengandalkan BBM bersubsidi untuk menopang kehidupan sehari-hari.
Takaran Manual, Nelayan Kehilangan Hak
Nelayan di pesisir Tiworo Utara mengeluhkan selisih takaran solar dan pertalite bersubsidi yang mereka beli. HE, salah seorang nelayan, mengungkapkan, setiap pembelian 20 liter BBM, hanya sekitar 18 liter yang diterima. “Selisih 2 liter sangat berarti bagi kami yang hidupnya bergantung pada melaut,” ujarnya, Rabu (9/4). Ia terpaksa tetap membeli di SPBUN tersebut karena tidak ada alternatif SPBU lain di wilayahnya.
Keluhan serupa disuarakan banyak nelayan. Mereka menilai sistem pengisian manual dengan gantang liter rentan manipulasi dan tidak transparan. Padahal, BBM bersubsidi tersebut merupakan hak masyarakat yang dijamin pemerintah.
Meski pengelola SPBUN, Aras, telah memasang nosel (alat pengisian otomatis) pada 2022 atas desakan pemerintah daerah, instalasi tersebut ditolak Pertamina karena tidak memenuhi standar keselamatan. Nosel dipasang di dalam rumah, bukan di area terbuka. “Saya terpaksa pasang karena banyak protes warga, tapi Pertamina tetap tidak mengakui,” kata Aras.
Ia mengaku kesulitan memodernisasi SPBUN karena biaya pembangunan SPBU standar mencapai lebih dari Rp1 miliar. “Saya masih punya utang bank. Kalau pemerintah mau cabut izin, saya pasrah,” tambahnya.
AMPHI Desak Pemerintah Bertindak Tegas
Ibrahim, Ketua Aliansi Mahasiswa Pemerhati Hukum Indonesia (AMPHI), menegaskan bahwa praktik takaran manual melanggar UU Perlindungan Konsumen dan tata niaga BBM bersubsidi. “Ini BBM subsidi, bukan barang komersial. Harusnya ada alat ukur resmi,” tegasnya.
Ia mendesak Pertamina dan pemerintah daerah mencabut izin operasional SPBUN jika pengelola tidak segera memenuhi standar. “Kalau dibiarkan, masyarakat terus jadi korban. SPBUN harus dikelola pihak yang transparan,” tegas Ibrahim.
Dua Dekade Tanpa Perubahan
SPBUN Tondasi telah beroperasi sejak 2004 dengan kuota 80 ton solar dan 16 ton pertalite per bulan untuk melayani hampir 1.000 nelayan. Namun, tidak ada upaya serius dari pengelola maupun pemerintah untuk meningkatkan kualitas layanan. Nosel yang dipasang di dalam rumah masih tetap digunakan, meski bertentangan dengan regulasi.
Nelayan pun terus dirugikan. “Kami hanya bisa pasrah. Solar yang dibeli tak pernah genap,” keluh HE.
Pertamina dan Pemerintah Daerah Diimbau Segera Bertindak
Jika tidak ada intervensi tegas, praktik tidak adil ini diprediksi akan terus berlanjut. Masyarakat miskin pesisir, yang seharusnya mendapat perlindungan melalui BBM bersubsidi, justru menjadi korban sistem yang abai terhadap hak-hak dasar mereka.
“SPBUN seharusnya jadi penyelamat, bukan jebakan struktural yang menghisap hak nelayan,” pungkas Ibrahim.
Editor: Redaksi katasultra.id