Kendari, Katasultra.id – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulawesi Tenggara mengecam keras revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Sulawesi Tenggara. Revisi yang dinilai sarat kepentingan elit politik dan investor pertambangan nikel ini dianggap mengabaikan perlindungan lingkungan, hak masyarakat lokal, dan prinsip keadilan ekologis.
“Revisi RTRW ini adalah bentuk legalisasi penghancuran ruang hidup rakyat dan kerusakan lingkungan demi kepentingan modal. Ini bukan tata ruang untuk rakyat, melainkan peta jalan eksploitasi yang disusun oleh dan untuk oligarki tambang,” tegas Direktur Eksekutif WALHI Sultra, Andi Rahman, dalam rilis resmi, Jumat (30/5).
WALHI menyoroti legalisasi dan ekspansi izin pertambangan nikel di pulau-pulau kecil seperti Kabaena (Bombana) dan Wawonii (Konawe Kepulauan). Aktivitas ini dinilai jelas bertentangan dengan UU No. 27/2007 juncto UU No. 1/2014 tentang Perlindungan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
“Tambang di pulau kecil melanggar hukum, mengancam ekosistem pesisir, sumber air, dan ruang hidup masyarakat. Revisi RTRW justru memberi legitimasi pada aktivitas ilegal ini,” tambah Andi.
Perubahan tata ruang di Morosi, Kabupaten Konawe, yang mengalihfungsikan kawasan perikanan dan pertanian rakyat menjadi kawasan industri nikel, telah memicu kerusakan lingkungan serius:
– Pencemaran Sungai Konaweeha
– Hilangnya sumber air bersih
– Peningkatan polusi udara dan debu
– Konflik sosial akibat perampasan lahan
Empat Poin Kritikal Revisi RTRW
- Legalisasi Tambang di Pulau Kecil: Izin tambang di Kabaena dan Wawonii dipertahankan meski bertentangan dengan aturan perlindungan pulau kecil.
- Perubahan Fungsi Kawasan Lindung: Zona industri menggantikan wilayah tangkapan air dan hutan lindung, mempercepat kerusakan ekologis.
- Minim Partisipasi Publik: Proses revisi tertutup, tanpa melibatkan komunitas terdampak, masyarakat adat, nelayan, atau akademisi.
- Ekspansi Kawasan Industri: Fasilitasi pembangunan smelter di Morosi, Pomalaa, dan Mandiodo yang memicu pencemaran dan konflik.
WALHI menegaskan revisi RTRW cacat secara prosedur dan substansi, serta bertentangan dengan regulasi nasional. Organisasi ini mendesak:
- Pemerintah Provinsi dan DPRD Sultra mengkaji ulang revisi dengan melibatkan masyarakat dan NGO.
- Kementerian ATR/BPN menolak mengesahkan dokumen bermasalah.
“Jika dipaksakan, krisis ekologis di Sultra akan makin parah. Pulau-pulau kecil hancur, konflik sosial meningkat, dan rakyat terus dikorbankan demi investasi,” pungkas Andi.
Redaksi