Kebebasan Pers Terancam: Dua Jurnalis Kendari Diduga Diintimidasi Penyidik Propam Usai Liput Kasus Dugaan Kekerasan Seksual Oknum Polisi

Berita, Daerah, Polri135 Dilihat

Kendari, 21 Februari 2024 – Kebebasan pers kembali diuji di Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra). Dua jurnalis, Samsul (Tribunnews Sultra) dan Nur Fahriansyah (Simpul Indonesia), diduga mengalami intimidasi dari penyidik Propam (Profesi dan Pengamanan) Polresta Kendari setelah memberitakan dugaan kasus kekerasan seksual yang melibatkan oknum polisi berinisial AM. Alih-alih menindak tegas terduga pelaku, aparat justru diduga menekan jurnalis dengan dalih meminta keterangan.

Hak Tolak Jurnalis Diabaikan, IJTI Sultra Kecam Tindakan Propam

Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Sultra mengecam keras tindakan Propam Polresta Kendari melalui pernyataan tertulis pada Jumat (21/2). Menurut IJTI, penyidik Propam diduga melanggar Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, khususnya Hak Tolak jurnalis untuk tidak mengungkap identitas narasumber atau informasi yang dirahasiakan.

Pasal 4 Ayat (4) UU Pers menyatakan bahwa Hak Tolak berlaku ketika jurnalis dimintai pertanggungjawaban hukum atas karya jurnalistiknya. Namun, dalam kasus ini, IJTI menilai Propam Polresta Kendari “melangkahi batas” dengan memaksa kedua jurnalis membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP) sebagai saksi pada 3 Februari 2024.

“Penyidik Propam menggunakan jurnalis sebagai alat hukum untuk menjerat seseorang. Ini bertentangan dengan prinsip jurnalistik dan UU Pers,” tegas IJTI Sultra.

Kronologi Intimidasi: Pemeriksaan 5 Jam hingga Surat Panggilan Berulang

Kasus bermula dari pemberitaan dugaan pelecehan seksual oleh oknum polisi AM terhadap seorang perempuan yang telah bersuami. Pada Kamis (30/1), Samsul dan Nur mewawancarai korban serta suaminya. Sebelum berita dipublikasikan, mereka berusaha mengonfirmasi ke Propam Polda Sultra dan terduga pelaku, tetapi nomor AM tidak aktif.

Setelah berita tayang pada Senin (3/2), keduanya dipanggil ke Propam Polresta Kendari. Awalnya, mereka mengira pemanggilan tersebut untuk hak jawab, namun nyatanya diminta memberikan keterangan tertulis (BAP) terkait informasi narasumber.

“Kami sempat menolak karena tugas kami hanya memberitakan. Tapi penyidik bersikeras dengan dalih ‘hanya menggali informasi’,” ujar Samsul. Mereka akhirnya diperiksa selama lima jam tanpa kejelasan status hukum.

Tak hanya itu, pada Jumat (21/2), Samsul dan Nur kembali menerima surat panggilan dari Propam Polresta Kendari (No. Spg/06/II/HUK.12.10.1/2024/Sipropam) untuk menjadi saksi.

Lima Tuntutan IJTI Sultra kepada Kepolisian

Menanggapi tekanan terhadap kebebasan pers ini, IJTI Sultra mengeluarkan lima sikap tegas:
1. Mengecam dugaan intimidasi Propam terhadap jurnalis.
2. Mendesak Kapolda Sultra mengevaluasi Kapolresta dan Kasi Propam Kendari atas pembiaran pelanggaran UU Pers.
3. Meminta pencabutan surat panggilan untuk jurnalis, karena karya jurnalistik sudah menjadi kesaksian.
4. Menuntut permintaan maaf resmi dari Kapolresta Kendari.
5. Mengimbau jurnalis tetap berpegang pada kode etik dan UU Pers.

Dampak: Ancaman terhadap Kebebasan Pers dan Kepercayaan Publik

IJTI Sultra mengingatkan, intimidasi terhadap jurnalis bukan hanya merusak kebebasan pers, tetapi juga melukai kepercayaan publik terhadap media. Narasumber korban kejahatan, khususnya, bisa enggan berbicara jika perlindungan hukum bagi jurnalis diabaikan.

Samsul menegaskan, “Kami hanya menjalankan tugas mencari kebenaran. Jika aparat malah membungkam pers, ke mana masyarakat akan mengadu?”

Hingga berita ini diturunkan, Kapolresta Kendari belum memberikan respons resmi.

Redaksi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *